Sabtu, 27 Oktober 2012

Keutamaan Shalat Dhuha

keutamaan_shalat_dhuha
Banyak yang belum memahami keutamaan shalat yang satu ini. Ternyata shalat Dhuha bisa senilai dengan sedekah dengan seluruh persendian. Shalat tersebut juga akan memudahkan urusan kita hingga akhir siang. Ditambah lagi shalat tersebut bisa menyamai pahala haji dan umrah yang sempurna. Juga shalat Dhuha termasuk shalat orang-orang yang kembali taat.
Di antara keutamaan shalat Dhuha adalah:
Pertama: Mengganti sedekah dengan seluruh persendian
Dari Abu Dzar, Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam bersabda,
يُصْبِحُ عَلَى كُلِّ سُلاَمَى مِنْ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ فَكُلُّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةٌ وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ وَنَهْىٌ عَنِ الْمُنْكَرِ صَدَقَةٌ وَيُجْزِئُ مِنْ ذَلِكَ رَكْعَتَانِ يَرْكَعُهُمَا مِنَ الضُّحَى
Pada pagi hari diharuskan bagi seluruh persendian di antara kalian untuk bersedekah. Setiap bacaan tasbih (subhanallah) bisa sebagai sedekah, setiap bacaan tahmid (alhamdulillah) bisa sebagai sedekah, setiap bacaan tahlil (laa ilaha illallah) bisa sebagai sedekah, dan setiap bacaan takbir (Allahu akbar) juga bisa sebagai sedekah. Begitu pula amar ma’ruf (mengajak kepada ketaatan) dan nahi mungkar (melarang dari kemungkaran) adalah sedekah. Ini semua bisa dicukupi (diganti) dengan melaksanakan shalat Dhuha sebanyak 2 raka’at” (HR. Muslim no.  720).
Padahal persendian yang ada pada seluruh tubuh kita sebagaimana dikatakan dalam hadits dan dibuktikan dalam dunia kesehatan adalah 360 persendian. ‘Aisyah pernah menyebutkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِنَّهُ خُلِقَ كُلُّ إِنْسَانٍ مِنْ بَنِى آدَمَ عَلَى سِتِّينَ وَثَلاَثِمَائَةِ مَفْصِلٍ
Sesungguhnya setiap manusia keturunan Adam diciptakan dalam keadaan memiliki 360 persendian” (HR. Muslim no. 1007).
Hadits ini menjadi bukti selalu benarnya sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun sedekah dengan 360 persendian ini dapat digantikan dengan shalat Dhuha sebagaimana disebutkan pula dalam hadits dari Buraidah, beliau mengatakan bahwa beliau pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَبِى بُرَيْدَةَ يَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « فِى الإِنْسَانِ سِتُّونَ وَثَلاَثُمِائَةِ مَفْصِلٍ فَعَلَيْهِ أَنْ يَتَصَدَّقَ عَنْ كُلِّ مَفْصِلٍ مِنْهَا صَدَقَةً ». قَالُوا فَمَنِ الَّذِى يُطِيقُ ذَلِكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ « النُّخَاعَةُ فِى الْمَسْجِدِ تَدْفِنُهَا أَوِ الشَّىْءُ تُنَحِّيهِ عَنِ الطَّرِيقِ فَإِنْ لَمْ تَقْدِرْ فَرَكْعَتَا الضُّحَى تُجْزِئُ عَنْكَ
Manusia memiliki 360 persendian. Setiap persendian itu memiliki kewajiban untuk bersedekah.” Para sahabat pun mengatakan, “Lalu siapa yang mampu bersedekah dengan seluruh persendiannya, wahai Rasulullah?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas mengatakan, “Menanam bekas ludah di masjid atau menyingkirkan gangguan dari jalanan. Jika engkau tidak mampu melakukan seperti itu, maka cukup lakukan shalat Dhuha dua raka’at.” (HR. Ahmad, 5: 354. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih ligoirohi)
Imam Nawawi rahimahullah mengatakan,  “Hadits dari Abu Dzar adalah dalil yang menunjukkan keutamaan yang sangat besar dari shalat Dhuha dan menunjukkannya kedudukannya yang mulia. Dan shalat Dhuha bisa cukup dengan dua raka’at” (Syarh Muslim, 5: 234).
Muhammad bin ‘Ali Asy Syaukani rahimahullah mengatakan,  “Hadits Abu Dzar dan hadits Buraidah menunjukkan keutamaan yang luar biasa dan kedudukan yang mulia dari Shalat Dhuha. Hal ini pula yang menunjukkan semakin disyari’atkannya shalat tersebut. Dua raka’at shalat Dhuha sudah mencukupi sedekah dengan 360 persendian. Jika memang demikian, sudah sepantasnya shalat ini dapat dikerjakan rutin dan terus menerus” (Nailul Author, 3: 77).
Kedua: Akan dicukupi urusan di akhir siang
Dari Nu’aim bin Hammar Al Ghothofaniy, beliau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ يَا ابْنَ آدَمَ لاَ تَعْجِزْ عَنْ أَرْبَعِ رَكَعَاتٍ مِنْ أَوَّلِ النَّهَارِ أَكْفِكَ آخِرَهُ
Allah Ta’ala berfirman: Wahai anak Adam, janganlah engkau tinggalkan empat raka’at shalat di awal siang (di waktu Dhuha). Maka itu akan mencukupimu di akhir siang.” (HR. Ahmad (5/286), Abu Daud no. 1289, At Tirmidzi no. 475, Ad Darimi no. 1451 . Syaikh Al Albani dan Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Penulis ‘Aunul Ma’bud –Al ‘Azhim Abadi- menyebutkan, “Hadits ini bisa mengandung pengertian bahwa shalat Dhuha akan menyelematkan pelakunya dari berbagai hal yang membahayakan. Bisa juga dimaksudkan bahwa shalat Dhuha dapat menjaga dirinya dari terjerumus dalam dosa atau ia pun akan dimaafkan jika terjerumus di dalamnya. Atau maknanya bisa lebih luas dari itu.” (‘Aunul Ma’bud, 4: 118)
At Thibiy berkata, “Yaitu  engkau akan diberi kecukupan dalam kesibukan dan urusanmu, serta akan dihilangkan dari hal-hal yang tidak disukai setelah engkau shalat hingga akhir siang. Yang dimaksud, selesaikanlah urusanmu dengan beribadah pada Allah di awal siang (di waktu Dhuha), maka Allah akan mudahkan urusanmu di akhir siang.” (Tuhfatul Ahwadzi, 2: 478).
Ketiga: Mendapat pahala haji dan umrah yang sempurna
Dari Anas bin Malik, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« مَنْ صَلَّى الْغَدَاةَ فِى جَمَاعَةٍ ثُمَّ قَعَدَ يَذْكُرُ اللَّهَ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ كَانَتْ لَهُ كَأَجْرِ حَجَّةٍ وَعُمْرَةٍ ». قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « تَامَّةٍ تَامَّةٍ تَامَّةٍ
Barangsiapa yang melaksanakan shalat shubuh secara berjama’ah lalu ia duduk sambil berdzikir pada Allah hingga matahari terbit, kemudian ia melaksanakan shalat dua raka’at, maka ia seperti memperoleh pahala haji dan umroh.” Beliau pun bersabda, “Pahala yang sempurna, sempurna dan sempurna.” (HR. Tirmidzi no. 586. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan)
Al Mubaarakfuri rahimahullah dalam Tuhfatul Ahwadzi bi Syarh Jaami’ At Tirmidzi (3: 158) menjelaskan, “Yang dimaksud ‘kemudian ia melaksanakan shalat dua raka’at’ yaitu setelah matahari terbit. Ath Thibiy berkata, “Yaitu kemudian ia melaksanakan shalat setelah matahari meninggi setinggi tombak, sehingga keluarlah waktu terlarang untuk shalat. Shalat ini disebut pula shalat Isyroq. Shalat tersebut adalah waktu shalat di awal waktu.”
Keempat: Termasuk shalat awwabin (orang yang kembali taat)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لا يحافظ على صلاة الضحى إلا أواب، وهي صلاة الأوابين
Tidaklah menjaga shalat sunnah Dhuha melainkan awwab (orang yang kembali taat). Inilah shalat awwabin.” (HR. Ibnu Khuzaimah, dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhib wa At Tarhib 1: 164). Imam Nawawi rahimahullahberkata, “Awwab adalah muthii’ (orang yang taat). Ada pula ulama yang mengatakan bahwa maknanya adalah orang yang kembali taat” (Syarh Shahih Muslim, 6: 30).

By : Solehudin

Merahasiakan Sholat Tahajud

Abdullah bin Mubarok adalah salah satu contoh ahli ibadah yang merahasiakan sholat sunnah tahajud (tidak berkenan manakala amalnya diketahui orang lain).

Muhammad bin 'Ayun, salah seorang sahabat Ibnul Mubarok dalam safar (perjalanan), berkata, "Pada suatu malam, ketika kami sedang berperang melawan bangsa Romawi, ia meletakkan kepalanya dengan maksud memperlihatkan kepadaku bahwa ia akan tidur. Maka, aku pun ikut meletakkan kepala seakan aku hendak tidur. Beberapa lama kemudian, ia mengira bahwa aku sudah tidur. 
Abdullah bin Mubarok pun bangun untuk mengerjakan sholat tahajud hingga terbit fajar, sedang aku memperhatikannya. Ketika fajar telah terbit, ia pun membangunkanku. Ia menyangka bahwa aku masih tidur. Ia berkata, 'Muhammad!' Aku menjawab, 'Sebenarnya, aku belum juga tidur.' 

Ketika ia mendengar jawabanku, maka aku tidak lagi melihatnya mengajakku berbicara dan juga merasa tidak nyaman terhadapku untuk mengajakku dalam peperangan lainnya. Sepertinya, ia tidak berkenan manakala aku mengetahuinya sebagai seorang ahli ibadah hingga meninggal. Aku tidak pernah melihat seorang pun yang lebih merahasiakan amal kebaikan mengalahkan beliau."
 
By : Solehudin

Adab-Adab Sholat Tahajud

Mengambil petunjuk Nabi s.a.w didalam menunaikan sholat malam.

Berniat Sholat Malam Ketika Menjelang Tidur

"Segala amal perbuatan itu berdasarkan niatnya." HR. Bukhori (1) dan Muslim (1907).

"Barangsiapa mendatangi ranjangnya dalam keadaan berniat untuk bangun mengerjakan sholat di malam hari, kemudian ia tertidur hingga Shubuh, maka dituliskanlah untuknya pahala niat sholat malam tersebut, sedangkan tidurnya itu merupakan sedekah untuk dirinya dari Robbnya Azza Wajalla." HR. Nasa'i (1786), Ibnu Majah (1344), dan Hakim (I/311).

Berdzikir Ketika Bangun Tidur

Diriwayatkan dari Ummu Salamah bin Abdirrohman bin Auf bahwa ia berkata, "Aku pernah bertanya kepada Aisyah rodhiyallahu anha, 'Dengan apa Nabi s.a.w biasanya membuka sholatnya jika beliau bangun di malam hari?' Aisyah menjawab, 'Jika Nabi s.a.w bangun di malam hari, maka beliau membuka sholatnya dengan bacaan doa:
(yang artinya: Ya Alloh, Robbnya malaikat Jibril, Mika'il dan Isrofil, Pencipta langit dan bumi, serta yang mengetahui yang ghoib dan yang nampak, Engkau yang membuat hukum(untuk memutuskan perkara) diantara hamba-hamba-Mu mengenai apa yang mereka perselisihkan. Maka, berikanlah aku petunjuk akan kebenaran tentang apa yang diperselisihkan padanya dengan izin-Mu. Sesungguhnya Engkau memberi petunjuk kepada siapa saja yang Engkau kehendaki menuju jalan yang lurus."
HR. Muslim (770)

Imam Nawawi di dalam Al-Majmu' mengatakan, "Disunnahkan bagi setiap orang yang bangun untuk mengerjakan sholat malam agar mengusap wajahnya, bersiwak, serta memandang ke langit seraya membaca ayat-ayat akhir surat Ali 'Imron, yaitu, 'Inna fî kholqis samâwâti wal ardhi..
Hal ini berdasarkan pada hadits dari Rosulullah s.a.w yang disebutkan dalam Ash-Shohîhain."Al Majmû' (IV/45).

Bersiwak Ketika Hendak Sholat

Diriwayatkan dari Hudzaifah r.a. , bahwa Nabi s.a.w jika bangun untuk mengerjakan sholat tahajud di malam hari, maka beliau membersihkan mulutnya dengan menggunakan siwak.HR. Bukhori (245) dan Muslim (255).

Membangunkan Istri Untuk Ikut Sholat Malam

Diriwayatkan dari Aisyah r.a, bahwa ia berkata : "Rosulullah sholallohu alaihi wassalam mengerjakan sholat malam, dan ketika beliau hendak witir, maka beliau berkata, 'Bangunlah dan kerjakanlah sholat witir, wahai Aisyah'." HR. Bukhori (512) dan Muslim (744).

Memulai Sholat Malam dengan Dua Roka'at Ringan

Diriwayatkan dari Aisyah r.a. , bahwa ia berkata : " Rosulullah s.a.w itu jika bangun di malam hari untuk mengerjakan sholat, maka beliau membuka sholatnya dengan mengerjakan sholat dua rokaat ringan." HR. Muslim (767)

Diriwayatkan dari Zaid bin Kholid Al-Juhani r.a, bahwa ia berkata, "Aku pernah mengintip sholat malam yang dikerjakan Rosulullah s.a.w, dan ternyata beliau mengerjakan sholat dua rokaat ringan terlebih dahulu, baru kemudian mengerjakan dua rokaat yang panjang." HR. Muslim (765).

Diriwayatkan dari Abu Huroiroh r.a , bahwa nabi s.a.w bersabda: " Jika salah seorang diantara kalian mengerjakan sholat di malam hari, maka hendaklah ia membuka sholatnya dengan dua rokaat ringan." HR. Muslim (768).

Imam Nawawi mengatakan," ini merupakan bukti mengenai kesukaan beliau agar bisa lebih giat dan bersemangat lagi pada rokaat - rokaat berikutnya (setelah dibuka dengan dua rokaat ringan)." Shohîh Muslim bi Syarhin Nawawî (IV/54).
 
By : Solehudin

Tata Cara Sholat Dhuha

Berikut ini tata cara melakukan sholat dhuha:
1.  Berniat untuk melaksanakan shalat sunat Dhuha setiap 2 rakaat 1 salam. Seperti biasa bahwa niat itu tidak harus dilafazkan, karena niat sudah dianggap cukup meski hanya di dalam hati.
2.  Membaca surah Al-Fatihah
3.  Membaca surah Asy-Syamsu (QS:91) pada rakaat pertama, atau cukup dengan membaca Qulya (QS:109) jika tidak hafal surah Asy-Syamsu itu.

4.  Membaca surah Adh-Dhuha (QS:93) pada rakaat kedua, atau cukup dengan   membaca Qulhu (QS:112) jika tidak hafal surah Adh-Dhuha.
5.  Rukuk, iktidal, sujud, duduk dua sujud, tasyahud dan salam adalah sama sebagaimana tata cara pelaksanaan shalat fardhu.
6.  Menutup shalat Dhuha dengan berdoa. Inipun bukan sesuatu yang wajib, hanya saja berdoa adalah kebiasaan yang sangat baik dan dianjurkan sebagai tanda penghambaan kita kepada ALLAH.

Sebagaimana shalat sunat lainnya, Dhuha dikerjakan dengan 2 rakaat 2 rakaat, artinya pada setiap 2 rakaat harus diakhiri dengan 1 kali salam.

Adapun surah-surah yang dibaca itu tidak ada hadis yang mengaturnya melainkan sekedar ijtihad belaka, kecuali membaca Qulya dan Qulhu adalah sunnah Rasulullah, tetapi bukan untuk shalat Dhuha, melainkan shalat Fajr. Kita tidak dibatasi membaca surah yang manapun yang kita sukai, karena semua Al-Qur’an adalah kebaikan.

By : Solehudin

Jumat, 26 Oktober 2012

Ibu Teladan Asma' Binti Abu Bakar As Siddiq Dzatun Nithaqain

 Ibu Teladan Asma' Binti Abu Bakar As Siddiq, Dzatun Nithaqain     
 “Ya Allah! Kasihanilah dia kerana solat yang panjang diselangi tangisan di tengah kedinginan malam yang sepi, ketika orang-orang lain sedang nyenyak dibuai mimpi. Ya Allah! Kasihanilah dia yang sering menahan lapar dan dahaga ketika bertugas jauh dari Madinah atau Mekah dalam menunaikan ibadah puasa kepadaMu. Ya Allah! Aku menyerahkannya di bawah pemeliharaanMu, aku redha dengan apa yang telah Engkau tetapkan bagiku dan baginya, dan berilah kami pahala orang-orang yang sabar...!" [Doa Asma' radhiallahu anha buat puteranya, Abdullah bin Zubair]
Asma' binti Abu Bakar As-siddiq, saudara kepada Aisyah Ummul Mukminin (isteri Rasulullah Sallallahu Alaihi wa Sallam), puteri kepada sahabat Rasulullah yang mulia, Saidina Abu Bakar As-siddiq, isteri Zubair bin Awwam, pejuang dan tokoh Islam yang mengutamakan redha Allah di dalam perjuangannya, Merupakan seorang wanita muhajir yang mulia dan bonda kepada Abdullah bin Zubair, salah seorang pejuang yang gugur mempertahankan agamanya, dan sesungguhnya kedudukannya ini cukup untuk mengangkat darjat beliau ke tempat yang tinggi, mulia dan terpuji. Peribadinya dirahmati Allah dengan keistimewaan yang sangat menonjol, setanding dengan para Muslimin di ketika itu, cerdas, cerdik, lincah, pemurah dan berani.
Kedermawanan beliau dapat dilihat jelas melalui ucapan anaknya," Aku belum pernah melihat wanita yang sangat pemurah melebihi ibuku termasuk Aisyah Radhiallahu anha. Beliau (Aisyah) mengumpulkan apa yang diperolehinya sedikit demi sedikit, lantas setelah itu barulah dinafkahkannya kepada mereka yang memerlukannya. Sedangkan ibuku, dia tidak pernah menyimpan sedikit pun sehingga hari esok"
Kebijaksanaan Dzatun Nithaqain
Kecemerlangan berfikir Asma Radhiallahu anha terpancar dari sikapnya yang penuh prihatin dan perhitungan yang bijaksana. Peristiwa Hijrah Abu Bakar menyaksikan pengorbanan seorang sahabat demi Islam, tidak meninggalkan sesen pun harta untuk keluarganya melainkan dibelanjakan keseluruhannya untuk Allah dan rasulNya.  Ketika Abu Quhafah (ayah kepada Abu Bakar radhiallahu anhu) yang masih musyrik menemui keluarganya, beliau berkata kepada Asma',
"Demi Allah! Tentu ayahmu telah mengecewakanmu dengan hartanya, di samping akan menyusahkanmu dengan pemergiannya!".  Jawab wanita yang mulia ini, "Tidak wahai datuk! sekali-kali tidak! Beliau banyak meninggalkan wang buat kami" ujarnya sambil menghibur dan menenangkan datuknya. Dikumpulkannya batu-batu kerikil yang kemudiannya dimasukkan ke dalam lubang tempat kebiasaannya menyimpan wang. Kemudian dibawakan datuknya yang buta itu ke tempat simpanan tersebut, lantas berkata, "Lihatlah datukku! Beliau banyak meninggalkan wang buat kami!". Perkataan tersebut ternyata berjaya meyakinkan Abu Quhafah. Maksud perbuatan tersebut adalah untuk menyenangkan hati datuknya, agar tidak bersusah hati memikirkan hal tersebut. Malah, Asma'  juga tidak menginginkan bantuan dari orang musyrik meskipun datuknya sendiri. Inilah bukti yang menunjukkan besarnya perhatian beliau terhadap dakwah dan kepentingan kaum Muslimin.
Diberi julukan sebagai 'dzatun nithaqain' oleh Rasulullah yang membawa erti "wanita yang mempunyai dua tali pinggang", sebagai peringatan terhadap peristiwa Hijrah yang menyaksikan pengorbanan dan keberanian Asma' yang tiada tolok bandingannya. Beliau bersusah payah menyediakan bekalan makanan dan minuman buat Rasulullah dan Abu Bakar Radhiallahu anhu di saat genting seperti itu. Beliau mengoyakkan ikat pinggangnya kepada dua untuk dijadikan tali pengikat untuk mengikat bekalan makanan dan minuman tersebut, sehingga kerana peristiwa itu Rasulullah mendoakan beliau agar digantikan tali pinggang tersebut dengan yang lebih baik dan lebih indah di syurga kelak.
Tidak hanya itu pengorbanan Asma Radhiallahu anha. Peristiwa hijrah ini turut menyaksikan kekuatan berfikir dan perancangan strategi yang dimiliki oleh seorang Muslimah hasil dari aktiviti politik dan kecemerlangan berfikir yang diadun dengan ketaqwaan dan keimanan yang teguh. Asma' Radhiallahu anha bukan sekadar menjadi penghantar makanan kepada dua orang sahabat yang berperanan penting bagi umat Islam, malah beliau juga menyampaikan berita-berita penting tentang rencana-rencana pihak musuh terhadap kaum Muslimin. Dengan kehamilannya ketika itu, Asma' mengambil  peranan yang menjanjikan risiko tinggi, di mana bukan saja nyawanya menjadi taruhan, malah lebih dari itu, nyawa Rasulullah Sallallahu Alaihi wa Sallam dan ayahnya turut sama terancam. Memikirkan kemarahan musuh Islam lantaran lolosnya Rasulullah dari kepungan, kafir Quraisy pastinya akan berusaha bersungguh-sungguh mencari-cari Rasulullah Sallallahu Alaihi wa Sallam untuk dibunuh kerana bencinya mereka terhadap dakwah Islam dan pejuang-pejuangnya.
Di saat-saat genting seperti itu, Asma' mampu meramal segala kemungkinan yang bakal berlaku, dan dengan kecerdikan dan penuh perhitungan, beliau berjalan menuju Gua Tsur sambil menggembala kambing-kambingnya berjalan di belakangnya. Taktik ini dilakukan untuk mengaburi mata pihak musuh kerana jejaknya terhapus oleh jejak-jejak kambing gembalaannya itu. Tindakan ini belum tentu mampu dilakukan oleh seorang lelaki yang berani sekalipun, lantaran hal tersebut bakal mengundang bahaya, kezaliman, dan kekejaman orang-orang kafir Quraisy.
Permasalahan ini tidak cukup sampai di situ. Setelah kejayaan Rasulullah dan Abu Bakar keluar dari tempat persembunyian dan berhasil berhijrah ke Madinah, Asma' Radhiallahu anha dan keluarganya didatangi beberapa orang Quraisy, di antaranya Abu Jahal yang telah bertindak kasar menampar pipi Asma’ Radhiallahu anha dengan sekali tamparan yang mengakibatkan subangnya terlepas!. Asma' menjawab dengan penuh diplomasi saat beliau ditanya tempat persembunyian Rasulullah dan ayahnya dengan berkata," Demi Allah, aku tidak tahu di mana ayahku berada sekarang!"
Hijrah Asma' Radhiallahu anha dan suaminya ke Madinah berlaku selang beberapa lama dari hijrah sebelumnya, di mana pada ketika itu Asma' sedang sarat mengandungkan Abdullah bin Zubair dan hanya menanti detik-detik kelahirannya. Perjalanan yang jauh dan berbahaya ditempuhi jua sehinggalah angkatan para sahabat tiba di Quba'. Kelahiran anak pasangan sahabat ini disambut dengan penuh kesyukuran dan kegembiraan. Dialah bayi pertama yang dilahirkan di Madinah.
Sebaik-baik Ummu wa Rabbatul Bait
Seorang muhajirah yang agung, antara wanita yang awal memeluk Islam, sangat memuliakan suaminya meskipun Zubair hanya seorang pemuda miskin yang tidak mampu menyediakan pembantu buatnya. Hatta tidak mempunyai harta yang dapat melapangkan kehidupan keluarganya, melainkan hanya seekor kuda yang dijaganya dengan baik. Beliaulah isteri yang sentiasa sabar dan setia berkhidmat untuk suaminya, sanggup bekerja keras merawat dan menumbuk sendiri biji kurma untuk makanan kuda suaminya di saat Zubair sibuk menjalankan tugas-tugas yang diperintah Rasulullah kepadanya.
Di dalam didikannya, keperibadian Abdullah bin Zubair dibentuk. Beliau adalah susuk seorang ibu yang sangat memahami peranannya dalam melahirkan generasi utama yang berkualiti, generasi yang menjadikan kecintaan kepada Allah dan RasulNya di atas segala-galanya, sama ada harta, isteri, keluarga mahupun segala jenis perbendaharaan dunia. Beliau mencetak keperibadian generasi yang siap berjuang membela bendera Islam dan kalimah La ilaha illallah Muhammad Rasulullah. Keperibadian seperti ini terpancar jelas di dalam diri puteranya, Abdullah bin Zubair. Hal ini dapat kita teladani melalui kisah pertemuan terakhir di antara seorang ibu dan anak yang saling menyayangi dan mencintai satu sama lain, semata-mata kerana kecintaan keduanya kepada Allah Subhanahu wa Taala dan RasulNya.
Abdullah: Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh, wahai ibunda!
Asma': Wa'alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh, ya Abdullah! Mengapa engkau datang ke sini di saat-saat seperti ini? Padahal batu-batu besar yang dilontarkan Hajjaj kepada tenteramu menggetarkan seluruh Kota Mekah?
Abdullah: Aku hendak bermusyawarah dengan ibu
Asma': Tentang masalah apa?
Abdullah: Tenteraku banyak meninggalkanku. Mereka membelot dariku ke pihak musuh. Mungkin kerana mereka takut terhadap Hajjaj atau mungkin juga kerana mereka menginginkan sesuatu yang dijanjikannya sehingga anak-anak dan isteriku sendiri berpaling daripadaku. Sedikit sekali jumlah tentera yang tinggal bersamaku. Sementara utusan Bani Umayyah menawarkan kepadaku apa saja yang ku minta berupa kemewahan dunia asal saja aku bersedia meletakkan senjata dan bersumpah setia mengangkat Abdul Malik bin Marwan sebagai khalifah. Bagaimana pendapatmu wahai ibu?
Asma': Terserah kepadamu Abdullah! Bukankah engkau sendiri yang mengetahui tentang dirimu? Jika engkau yakin bahawa engkau mempertahankan yang haq dan mengajak kepada kebenaran, maka teguhkanlah pendirianmu sepertimana para perajuritmu yang telah gugur dalam mengibarkan bendera agama ini! Akan tetapi, jika engkau menginginkan kemewahan dunia, sudah tentu engkau adalah seorang anak lelakiku yang pengecut! dan bererti engkau sedang mencelakakan dirimu sendiri dan menjual murah harga kepahlawananmu selama ini, anakku!
Abdullah: Akan tetapi, aku akan terbunuh hari ini ibu.
Asma' : Itu lebih baik bagimu daripada kepalamu akan dipijak-pijak juga oleh budak-budak Bani Umayyah  dengan mempermainkan janji-janji mereka yang sangat sukar untuk dipercayai!
Abdullah: Aku tidak takut mati, Ibu. Tetapi aku khuatir mereka akan mencincang dan merobek-robek jenazahku dengan kejam!
Asma': Tidak ada yang perlu ditakuti perbuatan orang hidup terhadap kita sesudah kita mati. Kambing yang sudah disembelih tidak akan merasa sakit lagi ketika kulitnya dikupas orang!
Abdullah: Semoga Ibu diberkati Allah. Maksud kedatanganku hanya untuk mendengar apa yang telah ku dengar dari ibu sebentar tadi. Allah Maha Mengetahui, aku bukanlah orang yang lemah dan terlalu hina. Dia Maha Mengetahui bahawa aku tidak akan terpengaruh oleh dunia dan segala kemewahannya. Murka Allah bagi sesiapa yang meremehkan segala yang diharamkanNya. Inilah aku, anak Ibu! Aku selalu patuh menjalani segala nasihat Ibu. Apabila tewas, janganlah ibu menangisiku. Segala urusan dari kehidupan Ibu, serahkanlah kepada Allah!
Asma': Yang ibu khuatirkan andainya engkau tewas di jalan yang sesat.
Abdullah: Percayalah Ibu! Anakmu ini tidak pernah memiliki fikiran sesat untuk berbuat keji. Anakmu ini tidak akan menyelamatkan dirinya sendiri dan tidak memperdulikan orang-orang Muslim yang berbuat kebaikan. Anakmu ini mengutamakan keredhaan ibunya. Aku mengatakan semua ini di hadapan ibu dari hatiku yang putih bersih. Semoga Allah menanamkan kesabaran di dalam sanubari Ibu.
Asma': Alhamdulillah! segala puji bagi Allah yang telah meneguhkan hatimu dengan apa yang disukaiNya dan yang Ibu sukai pula. Rapatlah kepada Ibu wahai anakku, Ibu ingin mencium baumu dan menyentuhmu. Agaknya inilah saat terakhir untuk ibu memelukmu..."
Abdullah:Jangan bosan mendoakan aku Ibu!
Sebelum matahari terbenam di petang itu, Abdullah bin Zubair syahid menemui Rabbnya. Dia kembali kerana mengutamakan redha Allah dan redha ibunya yang beriman. Diriwayatkan, bahawa Al-Hajjaj berkata kepada Asma' setelah Abdullah terbunuh :"Bagaimanakah engkau lihat perbuatanku terhadap puteramu ?" Asma' menjawab :"Engkau telah merosak dunianya, namun dia telah merosak akhiratmu." Asma' wafat di Mekkah dalam usia 100 tahun, sedang giginya tetap utuh, tidak ada yang tanggal dan akalnya masih sempurna. [Mashaadirut Tarjamah : Thabaqaat Ibnu Saad, Taarikh Thabari, Al-Ishaabah dan Siirah Ibnu Hisyam].  Semoga Allah meredhai kedua hambaNya, Asma' dan puteranya.

By : Solehudin

Kepahlawanan Al-Barra’ bin Malik dalam Perang Melawan Musailamah sang Nabi Palsu

“Jangan mengangkat al-Barra’ sebagai panglima tentara kaum muslimin, karena dikhawatirkan dia akan mencelakakan bala tentaranya karena keberaniannya.” (Umar bin al-Khatthab)

Seorang laki-laki dengan rambut kusut, badan berdebu, berperawakan kurus, tulang tubuhnya berbalur daging tipis, mata para pemandangnya melihat kepadanya dengan sulit, kemudian langsung berpaling darinya.
Sekalipun demikian, laki-laki ini pernah membunuh seratus orang musyrik sendirian duel di medan laga satu lawan satu, jumlah ini belum termasuk orang-orang yang dia habisi di medan perang.

Dia adalah laki-laki pemberani, bernyali besar dan bertekad baja, di mana al-Faruq menulis kepada para gubernurnya di seluruh wilayah kekuasaannya, “Jangan menyerahkan pasukan kaum muslimin kepadanya, aku khawatir dia akan mencelakakan mereka karena keberaniannya.”
Dia adalah al-Barra’ bin Malik al-Anshari, saudara Anas bin Malik, pelayan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Kalau aku menyebutkan berita-berita kepahlawanan al-Barra’ bin Malik niscaya pembicaraan menjadi panjang dan kesempatan menjadi sempit, oleh karena itu aku memilih untuk menurunkan satu kisah dari kisah-kisah kepahlawananya. Satu kisah yang mengabarkan kisah-kisah yang lain kepada Anda.
Kisah ini berawal sejak saat-saat pertama dari wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam  yang mulia dan kepergian beliau menghadap Rabbnya, di mana kabilah-kabilah Arab mulai keluar berbondong-bondong meninggalkan agama Allah setelah sebelumnya mereka masuk berbondong-bondong ke dalamnya. Mereka yang tetap teguh di atas Islam hanyalah orang-orang Mekah, Madinah, Thaif, dan beberapa kabilah yang tersebar di sana-sini dari kalangan orang-orang yang Allah teguhkan hatinya di atas Islam.
Ash-Shiddiq tetap tegak menghadapi fitnah yang merusak ini layaknya gunung yang berdiri kokoh, dia menyiapkan sebelas pasukan dari orang-orang Muhajirin dan Anshar, dia mengibarkan sebelas panji komando untuk memimpin pasukan tersebut, lalu dia mengirimkan semuanya ke segala penjuru Jazirah Arabia untuk mengembalikan orang-orang murtad ke jalan petunjuk dan kebenaran, untuk membawa orang-orang yang menyimpang dari jalan yang benar dengan tajamnya pedang.
Orang-orang murtad yang paling besar kekuatannya, paling banyak anggotanya adalah Bani Hanifah, para pengikutnya Musailamah al-Kadzdzab.
Musailamah didukung oleh empat puluh ribu orang dari kabilahnya dan para sekutunya, mereka termasuk para petarung yang tangguh.
Kebanyakan dari pengikutnya adalah orang-orang yang mengikutinya karena fanatisme kesukuan bukan karena beriman atau percaya kepadanya, sebagian dari mereka berkata, “Aku bersaksi bahwa Musailamah adalah pembual besar dan Muhammad adalah orang yang benar, namun pembual (dari kabilah) Rabi’ah[1] lebih kami cintai daripada orang yang jujur dari (kabilah) Mudhar.”[2]
Musailamah mengalahkan pasukan kaum muslimin yang keluar memerangi mereka dengan kepemimpinan Ikrimah bin Abu Jahal, Musailamah berhasil memukul mundur tentara Islam itu.
Maka ash-Shiddiq mengirim pasukan kedua dengan dipimpin oleh Khalid bin al-Walid yang beranggotakan para shahabat besar dari kalangan orang-orang Muhajirin dan Anshar, di barisan depan pasukan ini adalah al-Barra’ bin Malik al-Anshari dan beberapa pahlawan pemberani kaum muslimin.
Dua pasukan bertemu di bumi Yamamah di Nejed, perang belum berlangsung lama, tetapi sudah terlihat keunggulan pasukan Musailamah, bumi yang diinjak oleh pasukan kaum muslimin mulai bergoncang, mereka mulai melangkah mundur sehingga pasukan Musailamah mampu menerobos markas panglima Khalid bin al-Walid dan membongkar tiang-tiangnya dan hampir saja membunuh istrinya kalau tidak ada seorang muslim yang menyelamatkannya.
Pada saat itu kaum muslimin merasakan sebuah bahaya yang sangat besar, mereka menyadari bahwa jika mereka kalah di depan Musailamah niscaya Islam tidak akan pernah berdiri tegak setelah hari itu, Allah yang tiada sekutu bagi-Nya tidak akan pernah lagi disembah di bumi Jazirah Arab.
Khalid maju menghampiri pasukannya, dia mulai menata ulang, memisahkan orang-orang Muhajirin dan orang-orang Anshar, dia juga memisahkan orang-orang pedalaman dari pasukan-pasukan yang lain.
Khalid mengumpulkan anak dengan bapaknya di bawah panji salah seorang dari (suku) mereka, agar masing-masing dari mereka menunjukkan kepahlawanannya di medan perang, agar diketahui di mana titik kelemahan kaum muslimin.
Genderang perang kembali di tabuh di antara kedua kubu, yang memakan korban besar, kaum muslimin belum pernah mengenal perang sedahsyat itu dalam sejarah mereka sebelumnya, pasukan Musailamah berperang dengan teguh di medan perang layaknya gunung yang tegak menjulang tinggi, mereka tidak terpengaruh oleh banyaknya jumlah korban yang berjatuhan.
Kaum muslimin memperlihatkan kepahlawanan mereka yang sangat mengagumkan, seandainya ia disusun menjadi satu niscaya akan menjadi sebuah kisah kepahlawanan yang tergolong sangat mencengangkan.
Tsabit bin Qais, pembawa panji orang-orang Anshar, mengambil kain kafannya, membuat galian di tanah sedalam setengah betis, lalu dia masuk ke dalam, dia tetap berdiri teguh di tempatnya, berperang membela panji kaumnya sampai dia tersungkur sebagai seorang syahid.
Zahid bin al-Khatthab saudara Umar bin al-Khatthab, memanggil kaum muslimin, “Wahai pasukan Islam, gigitlah gigi geraham kalian, tebaslah musuh kalian dan majulah tanpa mengenal rasa takut. Wahai tentara Allah, demi Allah, aku tidak akan berbicara setelah kalimatku ini selama-lamanya sampai Musailamah dikalahkan atau aku mati untuk bertemu Allah, lalu aku akan menyampaikan alasanku kepada-Nya.”
Kemudian dia maju berperang melawan musuh sampai dia gugur sebagai syahid.
Salim mantan hamba sahaya Abu Hudzaifah, pembawa panji orang-orang Muhajirin. Kaumnya khawatir dia akan goyah sehingga tidak kuat memegang panji, maka mereka berakata kepadanya, “Kami takut diserang melalui dirimu.” Maka dia menjawab, “Jika kalian sampai kalah karena aku, maka aku akan seburuk-buruk penghafal Alquran.”
Kemudian dia maju untuk melawan musuh dengan gagah berani sampai dia gugur syahid.
Puncak kepahlawanan mereka semuanya tampak pada kepahlawanan al-Barra’ bin Malik.
Khalid melihat bahwa peperangan semakin sengit dan mencapai puncaknya, pada saat itu Khalid menoleh al-Barra’ dan berkata, “Majulah wahai pemuda Anshar.”
Maka al-Barra’ melihat kepada kaumnya dan berkata, “Wahai orang-orang Anshar, jangan ada salah seorang dari kalian yang berpikir untuk pulang ke Madinah, tidak ada Madinah bagi kalian setelah hari ini. Yang ada hanyalah Allah semata dan mati syahid.”
Kemudian dia melangkah maju menyerang orang-orang musyrik dan kaumnya mengikutinya, dia menerjang membelah barisan musuh, menebaskan pedangnya ke leher musuh-musuh Allah sehingga bumi yang dipijak oleh Musailamah dengan pasukannya bergoncang, maka mereka pun mundur berlindung ke dalam benteng yang kemudian dikenal setelah itu dalam sejarah dengan benteng kematian karena banyaknya korban yang terbunuh di dalamnya.
Benteng kematian ini sangat luas, dindingnya tinggi, Musailamah dengan ribuan pendukungnya masuk dan mengunci pintu benteng dari dalam, mereka melindungi diri mereka dengan ketinggian bentengnya, selanjutnya mereka menghujani kaum muslimin dengan anak panah dari dalam benteng, maka anak panah turun kepada kaum muslimin layaknya hujan yang turun dari langit.
Pada saat itulah pahlawan kaum muslimin yang pemberani al-Barra’ bin Malik melangkah ke depan, dia berkata, “Wahai kaum muslimin, letakkan aku di sebuah tameng, angkatlah tameng itu di ujung tombak, kemudian lemparkan aku ke dalam benteng dekat pintu gerbangnya, kalau aku tidak gugur maka aku akan membuka gerbangnya untuk kalian.”
Dalam sekejap al-Barra’ sudah duduk di sebuah tameng, berbadan kurus dan kerempeng, puluhan tombak mengangkatnya dan melemparkannya ke dalam benteng kematian di antara ribuan tentara Musailamah, maka al-Barra’ turun di antara mereka layaknya sebuah halilintar, al-Barra’ melawan mereka sendirian di dekat gerbang benteng, menebaskan pedangnya sehingga dia berhasil menyudahi perlawanan sepuluh orang dari mereka dan membuka benteng sekalipun dia harus menerima delapan puluh lebih luka di tubuhnya berupa tusukan anak panah atau tebasan pedang.
Maka kaum muslimin berhamburan masuk ke dalam benteng kematian, dari dinding-dindingnya dan pintu-pintunya, mereka menebaskan pedang-pedang mereka ke leher orang-orang yang murtad yang berlindung di dalam benteng, kaum muslimin bisa membunuh sekitar dua puluh ribu orang dari mereka, kaum muslimin sampai kepada Musailamah dan mengirimnya ke pintu kematian.
Al-Barra’ dibawa ke tendanya untuk diobati, Khalid bin al-Walid menyempatkan diri untuk tinggal selama satu bulan di bumi Yamamah dalam rangka mengobati luka-lukanya sehingga Allah memberinya kesembuhan dan menetapkan kemenangan bagi kaum muslimin melalui kedua tangannya.
Al-Barra’ terus mencari syahadah yang menjauhinya di perang Yamamah, dia terus menerjuni perang demi perang, dia sangat inign mewujudkan impian besarnya, rindu ingin bertemu dengan Nabi yang Mulia.
Tibalah saat penaklukan kota Tustar[3] di negari Persia. Orang-orang Persia bersembunyi di salah satu bentengnya yang sangat tinggi, maka kaum muslimin mengepung mereka dari segala penjuru seperti gelang mengelilingi pergelangan tangan, pengepungan berlangsung lama, orang-orang Persia merasakan beratnya pengepungan, maka mereka mulai mengulurkan rantai-rantai besi dari atas dinding benteng, padanya tergantung kait-kait yang telah dibakar dengan api sehingga keadaannya lebih panas daripada bara, kait-kait panas ini menyambar kaum muslimin dan menjepit mereka, yang terjepit akan terangkat ke atas, selanjutnya dia akan mati atau mendekat kematian.
Salah satu pengait besi itu menyambar Anas bin Malik sudara al-Barra’ bin Malik, al-Barra’ langsung memanjat dinding benteng, memegang rantai besi yang menyambar saudaranya, dia melawan kait dan berusaha untuk melepaskan saudaranya darinya, tangan al-Barra’ terbakar dan mengeluarkan asap, namun dia tidak memperdulikannya sehingga dia berhasil menyelamatkan saudaranya, al-Barra’ turun ke bumi setelah tangannya hanya tinggal tulang tanpa daging.
Dalam perang ini al-Barra’ bin Malik al-Anshari berdoa kepada-Nya agar melimpahkan syahadah kepadanya, maka Allah mengabulkan doanya di mana dia gugur sebagai syahid yang bangga bisa bertemu Allah.
Semoga Allah menjadikan wajah al-Barra’ bin Malik berseri-seri di dalam surga, membuatnya tenang karena bisa menyusul Nabinya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam  semoga Allah meridhainya dan menjadikannya ridha.

By : Solehudin

Umar Tidak Tahu, Tetapi Rabb-nya Pasti Tahu

yang disebutkan dalam sirah ‘Umar bin ‘Abdil-’Azis (Juz 1, hlm 23). Yaitu kisah Amirul-Mukminin ‘Umar bin Khaththab radhiallahu ‘anhu dengan seorang wanita. Tatkala Khalifah ‘Umar bin Khaththab radhiallahu ‘anhu memegang tampuk pemerintahan, beliau melarang mencampur susu dengan air.
Awal kisah, pada suatu malam Khalifah ‘Umar bin Khaththab radhiallahu ‘anhu pergi ke daerah pinggiran kota Madinah. Untuk istirahat sejenak, bersandarlah beliau di tembok salah satu rumah. Terdengarlah oleh beliau suara seorang perempuan yang memerintahkan anak perempuannya untuk mencampur susu dengan air. Tetapi anak perempuan yang diperintahkan tersebut menolak dan berkata: “Bagaimana aku hendak mencampurkannya, sedangkan Khalifah ‘Umar melarangnya?”
Mendengar jawaban anak perempuannya, maka sang ibu menimpalinya: “Umar tidak akan mengetahui.”
Mendengar ucapan tersebut, maka anaknya menjawab lagi: “Kalaupun ‘Umar tidak mengetahui, tetapi Rabb-nya pasti mengetahui. Aku tidak akan pernah mau melakukannya. Dia telah melarangnya.”
Kata-kata anak wanita tersebut telah menghunjam ke dalam hati ‘Umar. Sehingga pada pagi harinya, anaknya yang bernama ‘Ashim, beliau panggil untuk pergi ke rumah wanita tersebut. Diceritakanlah ciri-ciri anak tersebut dan tempat tinggalnya, dan beliau berkata: “Pergilah, wahai anakku dan nikahilah anak tersebut,” maka menikahlah ‘Ashim dengan wanita tersebut, dan lahirlah seorang anak perempuan, yang darinya kelak akan lahir Khalifah ‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz.
Pelajaran yang bisa kita ambil dari kisah tersebut ialah sebagai berikut:
- Kesungguhan salaf dalam mendidik anak-anak mereka.
- Selalu menanamkan sifat muraqabah, yaitu selalu merasa diawasi oleh Allah ‘Azza wa Jalla, baik ketika sendiri atau ketika bersama orang lain.
- Tidak meresa segan untuk memberikan nasihat kepada orang tua.
- Memilihkan suami yang shalih atau yang shalihah bagi anak-anaknya.
Penggalan kisah ini hanya sekadar contoh, bagaimana cara kita mengambil pelajaran berharga dari sebuah kisah, kemudian menanamkannya pada anak-anak kita, dan masih banyak contoh lainnya, baik di dalam Al-Qur`an maupun Al-Hadits yang bisa digali dan jadikan sebagai kisah-kisah yang layak dituturkan kepada anak-anak kita.

By : Solehudin

Orang yang Lebih Bodoh dari Keledai

قال ابن القيم رحمه الله : من هداية الحمار -الذي هو ابلد الحيوانات – أن الرجل يسير به ويأتي به الى منزله من البعد في ليلة مظلمة فيعرف المنزل فإذا خلى جاء اليه ، ويفرق بين الصوت الذي يستوقف به والصوت الذي يحث به على السير فمن لم يعرف الطريق الى منزله – وهو الجنـــة – فهو أبلد من الحمار
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Salah satu kelebihan –padahal ia adalah hewan paling pandir-  bahwasanya seseorang berjalan membawanya kerumahnya dari tempat yang jauh dalam kegelapan malam, maka itu bisa mengenal rumah tersebut. Apabila dilepaskan (dalam kegelapan) dia bisa pulang kerumah tersebut, serta mampu membedakan antara suara yang memerintahkannya berhenti dan yang memerintahkan berjalan. Maka barangsiapa yang tidak mengenal jalan kerumahnya –yaitu surga– dia lebih pandir dari pada keledai.” (Syifaul ‘Aliil: 1/74)

By : Solehudin

POTRET KECINTAAN PARA SAHABAT KEPADA RASULULLAH

  • Seorang shahabiyah (sahabat wanita) mulia, yang bapaknya, saudaranya dan suaminya terbunuh di Perang Uhud tatkala dikabari berita duka tersebut justru ia malah bertanya bagaimana keadaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu dikatakan kepadanya, “Beliau (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) baik-baik saja seperti yang engkau harapkan.” Dia menjawab, “Biarkan aku melihatnya.” Tatkala ia melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dia mengatakan, “Sungguh semua musibah terasa ringan wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali bila hal itu menimpamu.” (Sirah Nabawiyyah Libni Hisyam, 2:99).
  • Seorang sahabat mulia yang keluarganya adalah Quraisy, ia ditangkap oleh Quraisy untuk dibunuh, maka berkata Abu Sufyan berkata kepadanya, “Wahai Zaid, semoga Allah menguatkanmu, apakah engkau senang bila Muhammad menggantikan posisimu sekarang untuk dipenggal kepalanya sedang engkau duduk manis bersama keluargamu..?!! Maka spontan Zaid menjawab, “Demi Allah, sungguh tidakkah aku senang bila Muhammad sekarang tertusuk duri di tempatnya, sedang aku bersenang-senang bersama keluargaku.” Abu Sufyan pun mengatakan, “Saya tidak melihat seorang pun yang kecintaannya melebihi kecintaan sahabat-sahabat Muhammad kepada Muhammad.” (Sirah Nabawiyyah Libni Hisyam, 3:160).
  • Abu Thalhah radhiallahu’anhu pada waktu Perang Uhud, beliau membabi buta melemparkan panah-panah ke arah musuh hingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat ada sedikit rasa iba kepada musuh. Maka Abu Thalhah radhiallahu’anhu, “Demi bapak dan ibuku yang jadi tebusanmu, wahai Rasulullah, jangan engkau merasa iba dengan mereka, karena panah-panah mereka telah melukai dan menusukmu, sesungguhnya leherku jadi tameng lehermu.” (HR. Bukhari, no.3600 dan Muslim, no.1811).
HUKUM MENCELA SAHABAT
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
إِنَّ الَّذِينَ يُؤْذُونَ اللهَ وَرَسُولَهُ لَعَنَهُمُ اللهُ فِي الدُّنْيَا وَاْلأَخِرَةِ وَأَعَدَّ لَهُمْ عَذَابًا مُّهِينًا
Sesungguhnya orang-orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya. Allah akan melaknatinya di dunia dan di akhirat, dan menyediakan baginya siksa yang menghinakan.” (QS. al-Ahzab: 57).
Orang-orang yang menyakiti para sahabat berarti mereka telah menyakiti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan siapa saja yang menyakiti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berarti telah menyakiti Allah Subhanahu wa Ta’ala dan siapa pun yang menyakiti Allah Subhanahu wa Ta’ala maka dia adalah orang yang melakukan perbuatan dosa yang paling besar bahkan bisa mengeluarkan pelakunya dari Islam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Jangan kalian mencela sahabatku, seandainya salah seorang di antara kalian menginfakkan emas sebesar Gunung Uhud maka tidaklah menyamai 1 mud mereka atau setengahnya.” (HR. Bukhari, no.3470 dan Muslim, no.2540).
Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
Barang siapa mencela sahabatku, atasnya laknat Allah Subhanahu wa Ta’ala, para malaikat dan manusia seluruhnya.” (HR. Thabarani dalam Mu’jamul Kabi, 12:142 dihasankan oleh Al-Albani dalam Silsilah Ahadis Ash-Shahihah, no.2340).
Masih banyak lagi dalil-dalil yang menunjukkan kemuliaan para sahabat dan haramnya mencela apalagi mencaci para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan kewajiban kita adalah memuliakan mereka karena mereka telah memuliakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya. Inilah manhaj (metode) yang ditempuh oleh ahlus sunnah wal jama’ah. Siapa saja yang menyimpang dari metode ini berarti mereka adalah orang-orang yang tersesat dari jalan yang benar.
Al-Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan, “Termasuk hujjah (argumentasi) yang jelas adalah menyebut kebaikan-kebaikan para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam seluruhnya, dan menahan lisan dari membicarakan keburukan mereka dan perselisihan yang terjadi di antara mereka. Siapa saja yang mencela para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam atau salah satu di antara mereka, mencacat dan mencela mereka, membongkar aib mereka atau salah satu dari mereka maka dia adalah mubtadi (bukanlah ahlussunnah), rafidhi (Syi’ah) yang berpemikiran menyimpang. Mencintai para sahabat adalah sunah, mendoakan kebaikan untuk mereka adalah amalan ketaatan, meneladani mereka adalah perantara (ridha-Nya), mengikuti jejak mereka adalah kemuliaan. Para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah manusia terbaik, tidak dibenarkan bagi seorang pun menyebut-menyebut kejelekan mereka, tidak pula mencacat atau mencela dan membicarakan aib salah satu di antara mereka.” Wallahu a’lam.

By : Solehudin

PERINTAH MENELADANI PARA SAHABAT

Banyak sekali dalil-dalil dari Alquran maupun sunah yang memerintahkan kita untuk meneladani para sahabat, di antaranya:
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَمَن يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِن بَعْدِ مَاتَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَاتَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَآءَتْ مَصِيرًا
Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An-Nisa: 115).
Dan dalam hadis:
Dari Abu Burdah dari bapaknya ia berkata: “Selepas kami shalat maghrib bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kami katakan, ‘Bagaimana bila kita tetap duduk di masjid dan menunggu shalat isya bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.’ Maka kami pun tetap duduk, hingga keluarlah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk shalat isya. Beliau mengatakan, ‘Kalian masih tetap di sini?’ Kami katakan, ‘Wahai Rasulullah kami telah melakukan shalat maghrib bersamamu lalu kami katakan, alangkah baiknya bila kami tetap duduk di sini menunggu shalat isya bersamamu.’ Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Kalian benar.’ Lantas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat kepala ke langit lalu berkata, ‘Bintang-gemintang itu adalah para penjaga langit, apabila bintang itu lenyap maka terjadilah pada langit itu apa yang telah dijanjikan, aku adalah penjaga para sahabatku, bila aku tiada maka akan menimpa mereka apa yang telah dijanjikan, dan para sahabatku adalah para penjaga umatku, apabila para sahabatku telah tiada maka akan menimpa umatku apa yang telah dijanjikan.’”(HR. Muslim 7:183).
Al-Imam An-Nawawi mengatakan, “Makna hadis di atas adalah selama bintang itu masih ada maka langit pun akan tetap ada, apabila bintang-bintang itu runtuh dan bertebaran pada hari kiamat kelak maka langit pun akan melemah dan akan terbelah dan lenyap. Dan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Aku adalah penjaga para sahabatku, bila aku tiada maka akan menimpa mereka apa yang telah dijanjikan’, yaitu akan terjadi fitnah, pertempuran, perselisihan, dan pemurtadan. Dan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Para sahabatku adalah para penjaga umatku, apabila para sahabatku telah tiada maka akan menimpa umatku apa yang telah dijanjikan’, maknanya akan terjadi kebid’ahan dan perkara-perkara baru dalam agama dan juga fitnah…” (Syarh Shahih Muslim, 16:83).

By : Solehudin

Terkait Bulan Dzulhijjah

  Islam – Dzulhijjah adalah salah satu bulan yang di dalamnya terdapat banyak keutamaan. Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan banyak kesempatan kepada manusia untuk memperbanyak amal sebagai bekal untuk kehidupan abadi, akhirat. Dalam penanggalan islam, Dzulhijjah adalah bulan terakhir dari 11 bulan yang lain.

Terkait bulan Dzulhijjah, ada beberapa moment yang penting kita kerjakan sebagai umat muslim. Berikut ini beberapa hal penting pada bulan Dzulhijjah:

1. 10 Hari Pertama Dzulhijjah
Pada sepuluh hari pertama adalah hari-hari yang penuh keutamaan, maka kita dianjurkan beramal sholeh dan memperbanyak tahlil, takbir, dan tahmid.
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ مَا الْعَمَلُ فِي أَيَّامٍ أَفْضَلَ مِنْهَا فِي هَذِهِ قَالُوا وَلَا الْجِهَادُ قَالَ وَلَا الْجِهَادُ إِلَّا رَجُلٌ خَرَجَ يُخَاطِرُ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ بِشَيْءٍ
Dari Ibnu Abbas dari Nabi shollallaahu ‘alaihi wasallam bahwasanya beliau bersabda: “Tidaklah ada suatu amalan yang lebih utama dikerjakan pada hari-hari ini (10 hari pertama Dzulhijjah). Para Sahabat bertanya: Apakah juga tidak bisa dikalahkan oleh Jihad fii Sabiilillah? Nabi bersabda: Tidak juga jihad fii sabiilillah , kecuali seseorang yang keluar (untuk berjihad) dengan jiwa dan hartanya kemudian tidak kembali sedikitpun (H.R Al-Bukhari)
2. Tidak Boleh Memotong Kuku dan Mencukur Rambut bagi yang Berkurban
Dari Ummu Salamah radhiallahu ‘anhaa bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Jika kalian melihat hilal bulan Dzulhijjah dan salah seorang dari kalian ingin menyembelih (kurban) maka hendaknya dia tidak memotong rambut dan kukunya”(HR Muslim no 1977)
Hadits tersebut berlaku saat hilal tanggal 1 Dzulhijjah terlihat (setelah matahari terbenam) sampai hewan qurban miliknya disembelih, meskipun masih ada binatang qurban lain yang belum disembelih.
3. Puasa Arofah (Tanggal 9 Dzulhijjah)
Puasa Arofah adalah puasa yang dikerjakan manakala orang yang berhaji wukuf di padang Arofah. Sehari sebelum Hari raya Idul Adha (Hari Raya Qurban).
Dari Abu Qatâdah Al-Anshâry radhiyallâhu ‘anhu, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang puasa hari ‘Arafah maka beliau menjawab,
 يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ وَالْبَاقِيَةَ
“(Puasa tersebut) menggugurkan dosa tahun yang lalu dan tahun yang tersisa.”
Dalam sebuah riwayat disebutkan, beliau bersabda:
 صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ وَالسَّنَةَ الَّتِى بَعْدَهُ
“Saya mengharap pahala dari Allah bahwa puasa hari ‘Arafah menggugurkan dosa tahun sebelumnya dan tahun ­setelahnya.” (HR Imam Muslim no. 1162, At-Tirmidzy no. 748, dan Ibnu Mâjah no. 1730)
4. Sholat Idul Adha (10 Dzulhijjah)
Berkata Ibnul Qayyim :
“Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengakhirkan shalat Idul Fithri dan menyegerakan shalat Idul Adha. Dan adalah Ibnu Umar -dengan kuatnya upaya dia untuk mengikuti sunnah Nabi- tidak keluar hingga matahari terbit” [Zadul Ma'ad 1/442]
Berkata Al-Allamah Asy Syaukani dalam “Sailul Jarar” (1/315) (Hasan Khan dalam “Al-Mau’idhah Al-Hasanah” 42-43) .[ ]
“Ketahuilah bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam terus-menerus mengerjakan dua shalat Id ini dan tidak pernah meninggalkan satu kalipun. Dan beliau memerintahkan manusia untuk keluar mengerjakannya, hingga menyuruh wanita-wanita yang merdeka, gadis-gadis pingitan dan wanita haid.
5. Menyembelih Hewan Qurban
Menyembelih hewan qurban ini dilakukan setelah sholat Ied, apabila disembelih sebelum sholat ied maka tak terhitung pahala qurban melainkan hanya sedekah biasa.
Jika kita belum bisa menyembelih tepat setelah sholat ied, maka masih ada waktu sampai 3 hari setelahnya yaitu hari tasyrik (11, 12, 13 Dzulhijjah)
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
“Maka dirikanlah shalat karena Rabbmu dan sembelihlah hewan qurban.” (Al-Kautsar: 2)
مَنْ ذَبَحَ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّيَ فَلْيَذْبَحْ مَكَانَهَا أُخْرَى
Barangsiapa yang menyembelih (kurban) sebelum sholat (Ied) maka hendaknya mengganti dengan sesembelihan lain (setelah sholat) (H.R al-Bukhari dari Sahabat Jundab bin Sufyan alBajaly)
6. Hari Tasyrik Dilarang Puasa
Hari Tasyrik adalah hari setelah idul Adha, yaitu tanggal 11-13 Dzulhijjah. Pada saat itu semua umat muslim dilarang untuk berpuasa dan haram hukumnya. Terkecuali bagi orang yang tidak mampu membayar denda pada Haji Tamattu’ atau Qiron, maka ia wajib berpuasa.
Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
يَوْمُ عَرَفَةَ وَيَوْمُ النَّحْرِ وَأَيَّامُ التَّشْرِيقِ، عِيدُنَا أَهْلَ الْإِسْلَامِ، وَهُنَّ أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ
“Hari ‘Arofah, hari An-Nahr (‘idul Adha –pen) dan hari hari Tasyrik adalah hari raya kita penganut agama Islam, dan itu adalah hari-hari makan dan minum”, (HR Ahmad, Abu Daud dan selain mereka dari ‘Uqbah bin ‘AmirRodhiyallohu ‘Anhu)
***

By : Solehudin

Kamis, 25 Oktober 2012

MENGGAPAI CINTA ALLAH

Rasulullah s.a.w. bersabda: "Allah, Yang Maha Agung dan Mulia menjumpaiku - yakni dalam tidurku - kemudian berfirman kepadaku, "Wahai Muhammad, katakanlah : "Ya Allah, aku memohon kepada-Mu untuk mencintai-Mu, mencintai siapa saja yang mencintai-Mu, serta mencintai perbuatan yang mengantarkan aku untuk mencintai-Mu."
Dalam amal ubudiyah, cinta (mahbbah) menempati derajat yang paling tinggi. Mencintai Allah dan rasul-Nya berarti melaksanakan seluruh amanat dan ajaran Al-Qur'an dan Sunnah Rasul, disertai luapan kalbu yang dipenuhi rasa cinta.
Pada mulanya, perjalanan cinta seorang hamba menapaki derajat mencintai Allah. Namun pada akhir perjalanan ruhaninya, sang hamba mendapatkan derajat wahana yang dicintaiNya. Rasulullah s.a.w. bersabda: "Allah, Yang Maha Agung dan Mulia menjumpaiku - yakni dalam tidurku - kemudian berfirman kepadaku, "Wahai Muhammad, katakanlah : /Ya Allah, aku memohon kepada-Mu untuk mencintai-Mu, mencintai siapa saja yang mencintai-Mu, serta mencintai perbuatan yang mengantarkan aku untuk mencintai-Mu."/
Dalam buku "Mahabbatullah" (mencintai Allah), Imum Ibnu Qayyim menuturkan tahapan-tahapan menuju wahana cinta Allah. Bahwasanya cinta senantiasa berkaitan dcngan amal. Dan amal sangat tergantung pada keikhlasan kalbu, disanalah cinta Allah berlabuh. Itu karena Cinta Allah merupakan refleksi dari disiplin keimanan dan kecintaan yang terpuji, bukan kecintaan yagn tercela yang menjerumuskan kepada cinta selain Allah.
Tahapan-tahapan menuju wahana cinta kepada Allah adalah sebagai berikut:
1. Membaca al-Qur'an dengan merenung dan memahami kandungan maknanya sesuai dengan maksudnya yang benar. Itu tidaklain adalah renungan seorang hamba Allah yang hafal danmampu menjelaskan al-Qur'an agar dipahami maksudnya sesuai dengan kehendak Allah swt. Al-Qur'an merupakan kemuliaan bagi manusia yang tidak bisa ditandingi dengan kemuliaan apapun. Ibnu Sholah mengatakan "Membaca Al-Qur'an merupakan kemuliaan, dengan kemuliaan itu Allah ingin memuliakan manusia di atas mahluk lainnya. Bahkan malaikat pun tidak pernah diberi kemuliaan semacam itu, malah mereka selalu berusaha mendengarkannya dari manusia".
2. Taqarub kepada Allah swt, melalui ibadah-ibadah sunnah setalah melakukan ibadah-ibadah fardlu. Orang yang menunaikan ibadah-ibadah fardlu dengan sempurna mereka itu adalah yang mencintai Allah. Sementara orang yang menunaikannya kemudian menambahnya dengan ibadah-ibadah sunnah, mereka itu adalah orang yang dicintai Allah. Ibadah-ibadah sunnah untuk mendekatkan diri kepada Allah, diantaranya adalah: shalat-shalat sunnah, puasa-puasa sunnah,sedekah sunnah dan amalan-amalan sunnah dalam Haji dan Umrah.
3. Melanggengkan dzikir kepada Allah dalam segala tingkah laku, melaui lisan, kalbu, amal dan perilaku. Kadsar kecintaan seseorang terhadap Allah tergantung kepada kadar dzikirnya kepadaNya. Dzikir kepada Allah merupakan syiar bagi mereka yang mencintai Allah dan orang yang dicintai Allah. Rasulullah s.a.w. pernah bersabda: "Sesungguhnya Allah aza wajalla berfirman :"Aku bersama hambaKu,s elama ia mengingatKu dan kedua bibirnya bergerak (untuk berdzikir) kepadaKu".
4. Cinta kepada Allah melebihi cinta kepada diri sendiri. Memprioritaskan cinta kepada Allah di atas cinta kepada diri sendiri, meskipun dibayang-bayangi oleh hawa nafsu yang selalu mengajak lebih mencintai diri sendiri. Artinya ia rela mencintai Allah meskipun beresiko tidak dicintai oleh mahluk. Inilah derajat para Nabi, diatas itu derajat para Rasul dan diatasnya lagi derajat para rasulul Ulul Azmi, lalu yang paling tinggi adalah derajat Rasulullah Muhammad s.a.w. sebab beliau mampu melawan kehendak dunia seisinya demi cintanya kepada Allah.
5. Kontinuitas musyahadah (menyaksikan) dan ma'rifat (mengenal) Allah s.w.t. Penglihatan kalbunya terarah kepada nama-nama Allah dan sifat-sifatNya. Kesadaran dan penglihatan kalbunya berkelana di taman ma'rifatullah (pengenalan Allah yang paling tinggi). Barang siapa ma'rifat kepada asma-asma Allah, sifat-sifat dan af'al-af'al Allah dengan penyaksian dan kesadaran yang mendalam, niscaya akan dicintai Allah.
6. Menghayati kebaikan, kebesaran dan nikmat Allah lahir dan batin akan mengantarkan kepada cinta hakiki kepadaNya. Tidak ada pemberi nikmat dan kebaikan yang hakiki selain Allah. Oleh sebab itu, tidak ada satu pun kekasih yang hakiki bagi seorang hamba yang mampu melihat dengan mata batinnya, kecuali Allah s.w.t. Sudah menjadi sifat manusia, ia akan mencintai orang baik, lembut dan suka menolongnya dan bahkan tidak mustahil ia akan menjadikannya sebagai kekasih. Siapa yang memberi kita semua nikmat ini? Dengan menghayati kebaikan dan kebesaran Allah secara lahir dan batin, akan mengantarkan kepada rasa cinta yang mendalam kepadaNya.
7. Ketertundukan hati secara total di hadapan Allah, inilah yang disebut dengan khusyu'. Hati yang khusyu' tidak hanya dalam melakukan sholat tetapi dalam semua aspek kehidupan ini, akan mengantarkan kepada cinta Allah yang hakiki.
8. Menyendiri bersama Allah ketika Dia turun. Kapankan itu? Yaitu saat sepertiga terakhir malam. Di saat itulah Allah s.w.t. turun ke dunia dan di saat itulah saat yang paling berharga bagi seorang hamba untuk mendekatkan diri kepadaNya dengan melaksanakan sholat malam agar mendapatkan cinta Allah.
9. Bergaul dengan orang-orang yang mencintai Allah, maka iapun akan mendapatkan cinta Allah s.w.t.
10. Menjauhi sebab-sebab yang menghalangi komunikai kalbu dan Al-Khaliq, Allah subhanahu wataala.

By : Solehudin

Halal-bihalal dan Toleransi Beragama

Idul Fitri memiliki arti kembali kepada kesucian, atau kembali ke asal kejadian. Idul Fitri diambil dari bahasa Arab, yaitu fithrah, berarti suci. Kelahiran seorang manusia, dalam kaca Islam, tidak dibebani dosa apapun. Kelahiran seorang anak, masih dalam pandangan Islam, diibaratkan secarik kertas putih. Kelak, orang tuanya lah yang akan mengarahkan kertas putih itu membentuk dirinya. Dan dalam kenyataannya, perjalanan hidup manusia senantiasa tidak bisa luput dari dosa. Karena itu, perlu upaya mengembalikan kembali pada kondisi sebagaimana asalnya. Itulah makna Idul Fitri.
Idul Fitri memiliki arti kembali kepada kesucian, atau kembali ke asal kejadian. Idul Fitri diambil dari bahasa Arab, yaitu fithrah, berarti suci. Kelahiran seorang manusia, dalam kaca Islam, tidak dibebani dosa apapun. Kelahiran seorang anak, masih dalam pandangan Islam, diibaratkan secarik kertas putih. Kelak, orang tuanya lah yang akan mengarahkan kertas putih itu membentuk dirinya.
Dan dalam kenyataannya, perjalanan hidup manusia senantiasa tidak bisa luput dari dosa. Karena itu, perlu upaya mengembalikan kembali pada kondisi sebagaimana asalnya. Itulah makna Idul Fitri. Dosa yang paling sering dilakukan manusia adalah kesalahan terhadap sesamanya. Seorang manusia dapat memiliki rasa permusuhan, pertikaian, dan saling menyakiti. Idul Fitri merupakan momen penting untuk saling memaafkan, baik secara individu maupun kelompok.
Budaya saling memaafkan ini lebih populer disebut halal-bihalal. Fenomena ini adalah fenomena yang terjadi di Tanah Air, dan telah menjadi tradisi di negara-negara rumpun Melayu. Ini adalah refleksi ajaran Islam yang menekankan sikap persaudaraan, persatuan, dan saling memberi kasih sayang.
Dalam pengertian yang lebih luas, halal-bihalal adalah acara maaf-memaafkan pada hari Lebaran. Keberadaan Lebaran adalah suatu pesta kemenangan umat Islam yang selama bulan Ramadhan telah berhasil melawan berbagai nafsu hewani. Dalam konteks sempit, pesta kemenangan Lebaran ini diperuntukkan bagi umat Islam yang telah berpuasa, dan mereka yang dengan dilandasi iman.
Menurut Dr. Quraish Shihab, halal-bihalal merupakan kata majemuk dari dua kata bahasa Arab halala yang diapit dengan satu kata penghubung ba (dibaca: bi) (Shihab, 1992: 317). Meskipun kata ini berasal dari bahasa Arab, sejauh yang saya ketahui, masyarakat Arab sendiri tidak akan memahami arti halal-bihalal yang merupakan hasil kreativitas bangsa Melayu. Halal-bihalal, tidak lain, adalah hasil pribumisasi ajaran Islam di tengah masyarakat Asia Tenggara. Halal-bihalal merupakan tradisi khas dan unik bangsa ini.
Kata halal memiliki dua makna. Pertama, memiliki arti 'diperkenankan'. Dalam pengertian pertama ini, kata halal adalah lawan dari kata haram. Kedua, berarti ‘baik’. Dalam pengertian kedua, kata ‘halal’ terkait dengan status kelayakan sebuah makanan. Dalam pengertian terakhir selalu dikaitkan dengan kata thayyib (baik). Akan tetapi, tidak semua yang halal selalu berarti baik. Ambil contoh, misalnya talak (Arab: Thalaq; arti: cerai), seperti ditegaskan Rasulullah SAW: Talak adalah halal, namun sangat dibenci (berarti tidak baik). Jadi, dalam hal ini, ukuran halal yang patut dijadikan pedoman, selain makna ‘diperkenankan’, adalah yang baik dan yang menyenangkan. Sebagai sebuah tradisi khas masyarakat Melayu, apakah halal-bihalal memiliki landasan teologis? Dalam Al Qur’an, (Ali 'Imron: 134-135) diperintahkan, bagi seorang Muslim yang bertakwa bila melakukan kesalahan, paling tidak harus menyadari perbuatannya lalu memohon ampun atas kesalahannya dan berjanji untuk tidak mengulanginya lagi, mampu menahan amarah dan memaafkan dan berbuat kebajikan terhadap orang lain.
Dari ayat ini, selain berisi ajakan untuk saling maaf-memaafkan, halal-bihalal juga dapat diartikan sebagai hubungan antar manusia untuk saling berinteraksi melalui aktivitas yang tidak dilarang serta mengandung sesuatu yang baik dan menyenangkan. Atau bisa dikatakan, bahwa setiap orang dituntut untuk tidak melakukan sesuatu apa pun kecuali yang baik dan menyenangkan. Lebih luas lagi, berhalal-bihalal, semestinya tidak semata-mata dengan memaafkan yang biasanya hanya melalui lisan atau kartu ucapan selamat, tetapi harus diikuti perbuatan yang baik dan menyenangkan bagi orang lain.
Dan perintah untuk saling memaafkan dan berbuat baik kepada orang lain seharusnya tidak semata-mata dilakukan saat Lebaran. Akan tetapi, harus berkelanjutan dalam kehidupan sehari-hari. Halal-bihalal yang merupakan tradisi khas rumpun bangsa tersebut merefleksikan bahwa Islam di negara-negara tersebut sejak awal adalah agama toleran, yang mengedepankan pendekatan hidup rukun dengan semua agama. Perbedaan agama bukanlah tanda untuk saling memusuhi dan mencurigai, tetapi hanyalah sebagai sarana untuk saling berlomba-lomba dalam kebajikan.
Ini sesuai dengan Firman Allah, “Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah kamu (dalam) berbuat kebaikan". (Q.S. 2:148). Titik tekan ayat di atas adalah pada berbuat kebaikan dan perilaku berorientasi nilai. Perilaku semacam ini akan mentransformasi dunia menjadi sebuah surga. Firman Allah (SWT), “Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang yang meminta-minta ; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan salat, dan menunaikan zakat ; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila dia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, benar (imannya) ; dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa". (Q.S. 2:177)

By : Solehudin

Islam Agama Yang Mudah

“Sesungguhnya Allah Swt. tidak mengutusku untuk mempersulit atau memperberat, melainkan sebagai seorang pengajar yang memudahkan.” (HR. Muslim, dari ‘Aisyah ra.)

Islam mempunyai karakter sebagai agama yang penuh kemudahan seperti telah ditegaskan langsung oleh Allah Swt. dalam firmanNya:
وماجعل عليكم في الدين من حرج   

            “…dan Dia tidak menjadikan kesukaran dalam agama atas diri kalian.”

Sementara dalam sebuah haditsnya, Nabi Saw. pun bersabda:

إن الله لم يبعثني معنتا ولامتعنتا ولكن بعثني معلما ميسرا

“Sesungguhnya Allah Swt. tidak mengutusku untuk mempersulit atau memperberat, melainkan sebagai seorang pengajar yang memudahkan.” (HR. Muslim, dari ‘Aisyah ra.)

Visi Islam sebagai agama yang mudah di atas termanifestasi secara total dalam setiap syari’atnya. Sampai-sampai, Imam Ibn Qayyim menyatakan, “Hakikat ajaran Islam semuanya mengandung rahmah dan hikmah. Kalau ada yang keluar dari makna rahmah menjadi kekerasan, atau keluar dari makna hikmah menjadi kesia-siaan, berarti itu bukan termasuk ajaran Islam. Kalaupun dimasukkan oleh sebagian orang, maka itu adalah kesalahkaprahan.”


            Ada beberapa prinsip yang secara kuat mencerminkan betapa Islam merupakan agama yang mudah. Yaitu di antaranya:

            Pertama, menjalankan syari’at Islam boleh secara gradual (bertahap). Dalam hal ini, seorang muslim tidak serta-merta diharuskan menjalankan kewajiban agama dan amalan-amalan sunnah secara serentak. Ada tahapan yang mesti dilalui: mulanya kita hanya diperintahkan untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban pokok agama. Setelah yang pokok-pokok berhasil dilakukan dengan baik dan rapi, kalau punya kekuatan dan kesempatan, maka dianjurkan untuk menambah dengan amalan-amalan sunnah.

Izin untuk mengamalkan syari’at Islam secara bertahap ini telah dicontohkan oleh RasululLah Saw. sendiri. Suatu hari, seorang Arab Badui yang belum lama masuk Islam datang kepada RasululLah Saw. Ia dengan terus-terang meminta izin untuk sementara menjalankan kewajiban-kewajiban Islam yang pokok saja, tidak lebih dan tidak kurang. Beberapa Sahabat Nabi menunjukkan kekurang-senangannya karena menilai si Badui enggan mengamalkan yang sunnah. Tapi dengan tersenyum, Nabi Saw. mengiyakan permintaan orang Badui tersebut. Bahkan beliau bersabda: “Dia akan masuk surga kalau memang benar apa yang dikatakannya.” 


Kedua, adanya anjuran untuk memanfaatkan aspek rukhshah (keringanan dalam praktek beragama). Aspek Rukhshah ini terdapat dalam semua praktek ibadah, khususnya bagi mereka yang lemah kondisi tubuhnya atau berada dalam situasi yang tidak leluasa. Bagi yang tidak kuat shalat berdiri, dianjurkan untuk shalat sambil duduk. Dan bagi yang tidak kuat sambil duduk, dianjurkan untuk shalat rebahan. Begitu pula, bagi yang tidak kuat berpuasa karena berada dalam perjalanan, maka diajurkan untuk berbuka dan mengganti puasanya di hari-hari yang lain.

            Dalam sebuah hadits Qudsi Allah Swt. berfirman:

إن الله يحب أن تؤتي رخصه كما يكره أن تؤتي معصيته

“Sesungguhnya Allah suka kalau keringanan-keringananNya dimanfaatkan, sebagaimana Dia benci kalau kemaksiatan terhadap perintah-perintahNya dilakukan.” (HR. Ahmad, dari Ibn ‘Umar ra.)

Dalam sebuah perjalanan jauh, RasululLah Saw. pernah melihat seorang Sahabatnya tampak lesu, lemah, dan terlihat berat. Beliau langsung bertanya apa sebabnya. Para Sahabat yang lain menjawab bahwa orang itu sedang berpuasa. Maka RasululLah Saw. langsung menegaskan: “Bukanlah termasuk kebajikan untuk berpuasa di dalam perjalanan (yang jauh).” (HR. Ibn Hibbân, dari Jâbir bin ‘AbdilLâh ra.)  

            Ketiga, Islam tidak mendukung praktek beragama yang menyulitkan. Disebutkan dalam sebuah riwayat, ketika sedang menjalankan ibadah haji, RasululLâh Saw. memperhatikan ada Sahabat beliau yang terlihat sangat capek, lemah dan menderita. Maka beliau pun bertanya apa sebabnya. Ternyata, menurut cerita para sahabat yang lain, orang tersebut bernadzar akan naik haji dengan berjalan kaki dari Madinah ke Mekkah. Maka RasululLâh Saw. langsung memberitahukan, “Sesunguhnya Allah tidak membutuhkan tindakan penyiksaan diri sendiri, seperti yang dilakukan oleh orang itu.” (HR. Bukhâri dan Muslim, dari Anas ra.)


            Demikianlah, Islam sebagai agama yang rahmatan lil’ ‘alamin secara kuat mencerminkan aspek hikmah dan kemudahan dalam ajaran-ajarannya. Dan kita sebagai kaum muslimin, telah dipilih oleh Allah Swt. untuk menikmati kemudahan-kemudahan tersebut. Diceritakan oleh ‘Aisyah ra. bahwa RasululLâh Saw. sendiri dalam kesehariaannya, ketika harus menentukan antara dua hal, beliau selalu memilih salah satunya yang lebih mudah, selama tidak termasuk dalam dosa. (HR. Bukhâri dan Muslim)

Akan tetapi, kemudahan dalam Islam bukan berarti media untuk meremehkan dan melalaikan kewajiban-kewajiban yang telah ditetapkan. Rukhshah tidak untuk dijadikan apologi, keringanan-keringanan dari Allah bagi kita jangan sampai membuat kita justru menjadi jauh dariNya. Karakter Islam sebagai agama yang mudah merupakan manifestasi nyata bahwa ajaran Islam bukanlah sekumpulan larangan yang intimidatif, melainkan ajaran yang mewedarkan kasih-sayang. Sehingga dengan demikian, ketika kita menjalankan ajaran-ajaran Islam, motivasinya bukan karena kita takut kepada Allah Swt., tapi lebih karena kita rindu dan ingin lebih dekat denganNya. Bukan karena kita ngeri akan nerakaNya, namun lebih karena kita ingin bersimpuh di haribaanNya –di dalam surga yang abadi.  
 
By : Solehudin

Hati Yang Baik

Suatu hari pada musim haji, Abdullah bin Mubarak yang sedang
melaksanakan ibadah haji di tanah suci tertidur di Masjidil Haram. Dalam
tidurnya beliau bermimpi bertemu dengan seorang malaikat yang
memberitahunya bahwa ibadah haji umat Islam tahun itu diterima Allah
hanya karena kebaikan seorang tukang sepatu. Sehabis itu Mubarak
terbangun. Betapa penasarannya beliau dengan mimpi itu dan betapa
penasarannya beliau dengan tukang sepatu yang diceritakan malaikat dalam
mimpinya itu. Apa gerangan yang dilakukan tukang sepatu itu sehingga
menyebabkan ibadah haji seluruh umat Islam tahun itu diterima Allah?
Beliau lalu mencari tahu siapa gerangan tukang sepatu itu dan dimana
tempatnya. Hingga akhirnya beliau berhasil menemui tukang sepatu dan
meminta cerita apa amalan yang dilakukannya sehingga mengantarkan
diterimanya ibadah haji seluurh umat Islam tahun itu? Lalu tukang sepatu
itu pun menceritakan ihwalnya, bahwa dia bersama isterinya selama 30
tahun berencana untuk naik haji. Selama itu tiap hari, minggu dan bulan
dia menabung dan mengumpulkan uang untuk biaya naik haji dari jasa
membuat dan memperbaiki sepatu.

Tahun ini tabungan hajinya bersama isteri sudah cukup dan dia berencana
untuk naik haji. Namun apa yang terjadi?

Suatu hari isterinya mencium bau harum masakan dari tetangganya. Karena
penasaran dengan harum masakan itu isteri tukang sepatu itu memberanikan
diri menghampiri tetangga dengan maksud ingin meminta sedikit masakan
sekedar ignin mencicipinya .

"Wahai tetangga yang baik, hari ini saya mencium harumnya masakanmu,
bolehkah saya mencicipi barang sedikit?" pinta isteri tukang sepatu itu
kepada tetangganya.

"Tuan puteri yang baik, masakan ini tidak halal bagimu", jawab tetangga.

"Mengapa tidak halal?" tanya isteri tukang sepatu itu dengan penasaran.

"Daging yang kami masak adalah bangkai yang kami temukan di jalan. Kami
tidak tega melihat anak-anak kami kelaparan. Kami sudah banting tulang
mencari makanan yang lebih baik, tapi kami tidak menemukannya. Akhirnya
hanya bangkai ini yang kami temukan, lalu kami masak biar anak-anak dan
keluarga kami tidak semakin menderita"

Mendengar cerita itu, isteri tukang sepatu itu sepontan pulang dan
menceritakannya kepada suaminya. Si tukang sepatu tanpa banyak bicara
segera membuka tabungan haji yang dikumpulkannya selama 30 tahun dan
dibawanya ke rumah tetangga. "Wahai tetangga yang baik, ambillah semua
uang ini untuk keperluan makan kamu dan keluargamu, ini lah haji kami",
kata tukang sepatu itu.

Perbuatan mulia tukang sepatu itulah yang dijadikan Allah sebagai
penyebab diterimanya amalan ibadah haji seluruh jamaah haji tahun itu.

****

Kisah di atas, menceritakan betapa hati yang mulia dan baik selalu
mendapatkan tempat yang mulia di mata Allah. Hati yang baik mengantarkan
kepada pemiliknya kepada perbuatan yang baik dan terpuji. Hati yang baik
mendatangkan pahala dan karunia Allah tidak hanya untuk si pemiliknya,
namun juga untuk seluruh umat manusia. Benarlah kata Rasulullah
"Sesungguhnya dalam jasad ada segumpal darah, kalau itu baik, maka
baiklah seluruh anggota tubuh".

Hati yang baik bukanlah sekedar karunia dari Allah yang diberikan kepada
orang-orang tertentu saja, namun hati yang baik juga bisa didapatkan
dengan latihan dan pendidikan. Salah satu cara untuk mendapatkan hati
yang baik adalah dengan senantiasa membuka komunikasi hati dan Allah.
Allah adalah Dzat Yang Maha Baik, maka siapapun yang selalu
berkomunikasi kepdaNya akan mendapatkan pancaran kebaikan. Semoga kita
diberi karunia hati yang baik.


By : Solehudin

Manfaat Berdoa

BERDOA -- yang secara etimologis berarti "meminta kepada Allah" -- mempunyai tujuan-tujuan yang bukan saja bersifat ukhrawi, melainkan juga bersifat duniawi. karena doa bukanlah untuk kepentingan Allah melainkan untuk kepentingan manusia itu sendiri. Kalaupun kita berdoa untuk memohon segala "sesuatu yang kita butuhkan", "yang kita inginkan" ataupun hanya "untuk menenangkan diri dari segala kesusahan", namun doa mempunyai beberapa faidah yang tak terhingga.


Syekh Sayyid Tantawi, syaikhul Azhar di Mesir, merangkum manfaat doa itu dalam tiga poin:
Pertama: doa berfungsi untuk menunjukkan keagungan Allah swt kepada hamba-hambaNya yang lemah. Dengan doa seorang hamba menyadari bahwa hanya Allah yang memberinya nikmat, menerima taubat, yang memperkenankan doa-doanya. Allah swt. berfirman: …atau siapakah yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi? Apakah di samping Allah ada tuhan (yang lain)? Amat sedikitlah kamu mengingati-Nya (QS. An Naml:62).

Tak ada satupun anugerah yang bisa diberikan kecuali oleh Allah swt yang Maha Pemberi, yang membuka pintu harapan bagi hamba-hamba-Nya yang berdosa sehingga sang hamba tidak dihadapkan pada keputusasaan. Bukankah Allah swt berjanji akan selalu mengabulkan doa hamba-hambaNya? "Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu". (QS Ghafir: 60)

Janji Allah untuk mengabulkan doa kita merupakan tahrid (motivasi) untuk bersegera berbuat baik, dan tarbiyah (mendidik) agar kita mengakui dan merasakan nikmat Allah sehingga jiwa kita semakin terdorong untuk selalu bersyukur. Sebab rasa syukur itu pula yang mendorongnya untuk bersungguh-sungguh dalam beribadah.

Manfaat kedua yaitu, doa mengajari kita agar merasa malu kepada Allah. Sebab manakala ia tahu bahwa Allah akan mengabulkan doa-doanya, maka tentu saja ia malu untuk mengingkari nikmat-nikmatNya.
Bahkan manakala manusia sudah berada dalam puncak keimanan yang kuat sekalipun, maka ia akan lebih dekat lagi (taqarrub) untuk mensyukuri nikmat-Nya. Hal ini dicontohkan oleh nabi Sulaiman as. ketika berdoa: "Ya Tuhanku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki oleh seorang jua pun sesudahku, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Pemberi." (QS. An Naml: 35).

Maka Allah pun mengabulkannya. Nabi Sulaiman bertanya kepada semua makhluk siapa yang mampu memindahkan singgasana Balqis ke hadapannya. Salah satu ifrit yang tunduk atas perintah nabi Sulaiman berkata: "Aku akan datang kepadamu dengan membawa singgasana itu kepadamu sebelum kamu berdiri dari tempat dudukmu; sesungguhnya aku benar-benar kuat untuk membawanya lagi dapat dipercaya". 
Ternyata benar, ifrit dari golongan jin itu datang membawa singgasana Balqis dari Saba (Yaman) ke Syria tidak kurang dari kedipan mata. Menyaksikan nikmat yang ada di "hadapannya", nabi Sulaiman lantas berkata: "Ini termasuk kurnia Tuhanku untuk mencoba aku apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan nikmat-Nya). Dan barang siapa yang bersyukur maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan barang siapa yang ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia".

Manfaat yang ketiga adalah mengalihkan hiruk-pikuk kehidupan dunia ke haribaan tafakur dan kekudusan munajat ke hadirat Allah swt, memutuskan syahwat duniawi yang fana menuju ketenangan hati dan ketentraman jiwa. Wallahu a'lam.
By : Solehudin

Pengajian: Adab Menyambut Kelahiran Bayi

Kajian kitab kuning kita kali ini, adalah pembahasan tentang penyambutan bayi yang baru lahir, dengan referensi Kitab "Tuhfatul Habib Ala Syarhil Khatib" dan "Mughnil Muhtaj ila ma'rifati alfadhil Minhaj" pada sub bab Aqiqah. Bagi yang ingin membaca source textnya langsung silahkan klik di sini [1] dan [2]:
Bagi bayi yang baru dilahirkan, Sunnah untuk
- Diadzani di telinga kanan.
- Di-iqomat-i di telinga kiri.
Efeknya apa? Menurut hadits tersebut, ada jin tertentu yang bernama Ummu Shibyan (US), dia suka mengikuti kelahiran bayi. Nah adzan tadi berguna agar gangguan US tadi tidak menimbulkan efek apapun. Selain itu, agar kalimah2 tauhid menjadi ilmu pertama yang didengar oleh bayi. Memang adzan memiliki keistimewaan tersendiri, yakni bila dibacakan, akan membuat setan lari. Jadi adzan dan iqomat ini disamping memang rekomendasi (sunnah), namun juga dhahir dan batinnya sendiri bermanfaat.

Kemudian sunnah juga:
- Dibacakan Ayat kursi (QS. AlBaqarah 255)
- Dibacakan Ayat Inna Rabbakumullah (QS. Al-A'raf 54)

إِنَّ رَبَّكُمُ اللّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ يُغْشِي اللَّيْلَ النَّهَارَ يَطْلُبُهُ حَثِيثاً وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ وَالنُّجُومَ مُسَخَّرَاتٍ بِأَمْرِهِ أَلاَ لَهُ الْخَلْقُ وَالأَمْرُ تَبَارَكَ اللّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ

- Dibacakan QS Al-Ikhlas (Qulhuwallahu ahad, dst) di telinga kanan [Lihat 14].
- Dibacakan Muawwidzatain (dua audzu), yakni Q.S. Al-Falaq dan An-Nas
- Dibacakan Doa:
لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ الْعَظِيمُ الْحَلِيمُ لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ ، لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ رَبُّ السَّمَوَاتِ ، وَرَبُّ الْأَرْضِ ، وَرَبُّ الْعَرْشِ الْكَرِيم

a-ilaaha-illalla-hul adhimul halim. La-ilaaha-illalla-hu rabbul arsyil adhim. La-ilaaha-illalla-hu rabbus samawati warabbul ardli warabul arsyil karim.

- Dilanjutkan doa Nabi Yunus (QS. Al-Anbiya' 87)
فَنَادَى فِي الظُّلُمَاتِ أَن لَّا إِلَهَ إِلَّا أَنتَ سُبْحَانَكَ إِنِّيكُنتُ مِنَ الظَّالِمِينَ
Fanada fidh dululmati alla ilaaha illa Anta, subhaanaka inni kuntu minadh dhalimin.
- Juga Dibacakan Inna Anzalnahu (QS Al-Qadr 1..5)
Dalam kitab Al-Bajuri (Hasyiah Fathul Qorib), Insya Allah telah disebutkan sbb: Dengan dibacakan QS. Al-Qadr ini, bayi tadi Insya Allah tak akan berzina seumur hidupnya.

Rekomendasi bacaan2 di atas bukanlah wajib. Tidak dibaca sama sekali juga tidak berdosa. Hanya saja sayang beribu sayang, sebab kesempatan untuk membacakan itu (konteks disunnahkannya) hanyalah sekali seumur hidup, yakni saat dilahirkannya si bayi. Dan seandainya bayi tersebut mengerti keengganan orang tuanya (padahal sudah tau), bisa dibayangkan betapa menyesalnya dia.

Ada juga tips dari orang tuanya Sayyidah Maryam yg berdoa saat kelahiran beliau (Q.S. Ali-Imran 36), yakni "Ya Allah saya mohon perlindunganMu untuk anak ini (Maryam) dan keturunannya (Nabi Isa AS), dari syaithanir rajim" yakni ayat "Inni Uidzuha bika wa dzurriyyataha minasy sayithanirrajiim" [13] (HR Imam Bukhari).
Demikian diriwayatkan oleh Shahabat Abu Hurairah RA yang kemudian merekomendasikannya "iqrauu in syi'tum", "Nah kalau kalian pingin, yah bacalah ayat itu".
Tentu saja, siapa yang tidak pingin, kalau anaknya dilindungi Tuhan dari setan.
Dikisahkan di tafsirnya, bahwa Allah SWT telah berkenan menjaga S. Maryam dan N. Isa dari sentuhan setan saat beliau lahir, berkah didoai dengan doa tersebut [3].

Tips yang lain adalah:
- Memberikan harum-haruman (za'faron, parfum bayi, dll) di atas kepalanya.
- Beraqiqah (memotong kambing) pada hari ke-7 (misal lahir Senin, hari ke-7 adalah Ahad) [5]. Daging disedekahkan dalam keadaan matang dan sebagiannya boleh dimakan sendiri. Diusahakan agar tulang belulang kambing tidak sampai pecah, sehingga pemotongan diusakan agar tepat di persendiannya. Hal ini dengan harapan agar kondisi fisik si bayi nantinya kuat. Bumbu masakannya lebih dimaniskan, dengan harapan akhlaknya nantipun juga manis, disamping memang kesukaan Rasulullah adalah masakan manis dan madu [7].
- Urutannya adalah aqiqah, kemudian cukur rambut, dan dinamai [6]. Boleh saja dinamai pada hari pertama, bila tidak berniat aqiqah [8].
- Saat itulah nama diberikan, dan diusahakan sebagus mungkin. Rasulullah SAW bersabda, "nanti pada saat qiamat, kalian akan dipanggil sesuai nama kalian dan bapak kalian, karena itu baguskanlah namamu" [9].
- Pencukuran rambut dilakukan setelah pemotongan kambing, sebagaimana pada haji, tahallul dilakukan setelah qurban [10]. Rambut tadi dikumpulkan, ditimbang, dan beratnya dikonversikan ke emas atau perak [11]. Rasulullah SAW memerintahkan Sayyidah Fathimah untuk menimbang rambut Sayyidina Husein dan bershadaqah emas seberat rambut itu dan memberikan hadiah khusus (paha/kaki kambing) ke bidan yang menolong kelahirannya [12].
- Tahnik. Para shahabat punya kebiasaan, bila bayinya telah lahir, mereka langsung membawanya ke hadapan Rasulullah SAW. Selanjutnya beliau menyuruh untuk mengambil kurma, kemudian mengunyahnya, hingga halus, lalu mengambilnya sedikit (dari dalam mulut beliau), dan menyuapkannya ke mulut bayi, dengan cara menyentuhkannya di langit-langit mulut bayi yang akan "otomatis" menghisapnya. Di sini akan masuk 2 hal, yakni glukosa (karbohidrat) untuk kekuatan fisik dan ludah Rasulullah SAW yang membawa berkah. Sunnah ini dilanjutkan oleh ummat Islam, dengan mentahnikkan bayinya kepada para ulama, dengan sabda Nabi "Al-Ulamau waratsatul Ambiya'", ulama itu pewaris para Nabi. Bila tak ditemui ulama (kaum shalihin) laki2, maka perempuanpun tidak ada masalah [15].
- Ucapan Selamat [16]. Kita berikan ucapan selamat untuk keluarga yang baru melahirkan ini, ucapan standarnya :
Barakallahu laka fil mauhubi laka wasyakartal wahiba wabalagha asyaddahu waruziqat birrahu[16a].
Mudah2an Allah melimpahkan berkah, dan Anda makin mensyukuri Dzat Pemberinya. Semoga si anak ini mencapai kedewasaannya dan dikaruniai kebaikan.
Dan yang diberi ucapan selamat, menjawabnya, jawaban standardnya adalah : Barakallahu laka wabaraka alaika "atau" ajzalallahu tsawabaka [16b].
Semoga kalian juga diberkahi Allah. atau Semoga Allah memberimu balasan pahala yang besar.

Mudah2an uraian ini bermanfaat.

By : Solehudin

Ketika Usia Kita Makin Dewasa

قال رب أوزعني أن أشكر نعمتك التي أنعمت علي وعلى والدي وأن أعمل صالحا ترضه وأصلح لي في ذريتي إني تبت إليك وإني من المسلمين (الأ حقاف:15)
“Ya Tuhanku, berilah aku ilham untuk mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada ibu-bapakku, serta untuk mengerjakan amal sholeh yang Engaku ridhoi, berilah kebaikan kepadaku dengan memberi kebaikan kepada anak-cucuku. Sungguh aku bertobat kepada-Mu, dan sesungguhnya aku termasuk golongan orang-orang yang berserah diri.” al-Ahqaf (QS 46:15)
Ayat di atas adalah do’a kesadaran akan hakikat hidup yang diajarkan Allah kepada manusia bila mencapai umur 40-an tahun.
Inilah do’a sarat makna yang penuh keterbukaan dan kesadaran akan peran masa lalu (orang tua), masa kini (diri kita sendiri), dan harapan masa depan (anak-cucu). Inilah do’a keselamatan setelah menjalani hidup hingga cukup bekal pengalaman serta berkesempatan untuk menata ulang setelah melihat tantangan proyeksi dirinya di masa depan. Inilah do’a penuh permohonan, penuh kesyukuran, dan penuh pertobatan yang perlu dilantunkan secara khusyuk, intim, dan sepenuh jiwa oleh siapa pun yang punya kesadaran akan umur, posisi, peran, peluang, serta hakikat kehidupannya.
Sungguh ketika seseorang menapaki usia yang ke-40 telah sampailah ia pada fase kearifan hidup. Puncak fase fisik sudah dilampauinya, simpang jalan kehidupan sudah diketahuinya, derita dan bahagia sudah dialaminya, serta jalur, rambu, dan lapis-lapis kehidupan sudah transparan bagi mata batinnya. Pada usia ini, seseorang sudah bisa mengukur secara tepat kekuatan dan kelemahan dirinya, tinggallah kemudian mana pilihan jalan yang akan diteruskanya. Persoalan kehidupan sudah semakin kelihatan berat dan bukan lagi fase fisik, bukan lagi fase coba-coba, melainkan fase kearifan hidup.
Ahli tafsir ada yang menyebutkan bahwa do’a seperti pada ayat di atas diucapkan oleh Abu Bakar As-Shidiq ra ketika kedua orangtuanya menyatakan masuk Islam. Dan, do’a itu masih dilantunkannya setiap hari hingga seluruh anggota keluarga Abu Bakar yang lain masuk Islam. Sedangkan oleh Talhah bin Masyraf kepada Abu Ma’syar ketika dia mengadukan kenakalan anaknya agar anaknya menjadi orang-orang sholeh dan sholehah.
Dua kata kunci pada do’a ini adalah ‘syukur’ dan ‘taubat’. Hakikat syukur adalah penegasan pengakuan diri akan nikmat yang telah diterimanya serta ungkapan rasa terima kasih kepada Allah atas segala kebaikan-Nya. Sementara inti tobat adalah saling ‘berbuat kebaikan’ antara manusia dengan Allah. Dimulai dari manusia yang ‘berbuat kebaikan’ dengan penyesalan kemudian dibalas oleh Allah ‘berbuat kebaikan’ dengan pengampunan dan pemberian rahmat-Nya serta manusia bertobat lantas Allah mengampuninya. Inilah hubungan mesra dan bermakna hakiki antara mahluk dan kholik.
Di zaman yang serba mengkhawatirkan seperti sekarang ini, ketika tantangan dan godaan hidup tidak lagi ringan, sudah selayaknya kita lakukan ikhtiar batin dengan berdo’a dan munajat selain ikhtiar lahir dengan fisik dan pikiran.
Insya Allah dengan laku syukur dan laku taubat, seluruh keluarga kita bisa selamat meniti jalan kehidupan, menapak duniawi sehingga bisa mencapai khusunul khotimah. Amin. 
Pada akhirnya, mari bersama kita renungkan perjalanan kita di persinggahan ini. Hari  berganti hari. Berganti hari, berarti kian dekat pada saat akhir hidup kita. Di dunia ini kita hanya mampir. Bukankah sudah banyak orang yang hidup sebelum kita, yang kini mereka kembali ke asal, menjadi tulang belulang.
Di depan kita, sudah banyak generasi muda yang kini hidup untuk menggantikan kita. Lalu kita mau ke mana, mau ke mana, kita pasti mati, mati adalah tempat mutasi kita yang terakhir. Kita pasti akan mempertanggungjawabkan apa yang telah kita lakukan. Sebanyak apa pun harta yang kita miliki tak akan bisa menolak kematian kita. Sehebat apa pun kekuasaan yang kita genggam, tak akan bisa menghalau kematian walau satu detik, walau kita kuat dan perkasa.

By : Solehudin

Subscribe via email

Followers